ELASTISITAS HATI MERESPON PERSOALAN DIRI
Oleh : Uju Gunawan, S.Pd. M.Pd.
Berbagai persoalan dalam hidup senantiasa melingkupi, mengepung dari berbagai arah serta menghunjam bertubi-tubi. Ketika suatu saat dengan berbagai upaya -- katakanlah nyaris berhasil terlepas dari satu persoalan, persoalan lain sudah siap mengikat menjerat dan menerkam. Persoalan tersebut muncul dari porsi yang amat sederhana sampai yang paling rumit sekalipun. Dalam rentang derajat kerumitan yang beragam itu hati punya kapasitas elastistas berbeda untuk “meloading” dan membacanya. Seseorang “A” sangat mungkin menerjemahkan persoalan sederhana menjadi sebuah persoalan besar sehingga dianggap musibah dan bencana, tapi pada posisi lain bisa terbaca persoalan “remeh temeh” saja untuk seorang ”B”. Begitu pun sebaliknya. Hati ibarat wadah seberapa cukup atau seberapa luber ketika air tertumpah ke dalamnya. Namun wadah hati tersebut sangatlah elastis, bagaimana seseorang punya daya respon dan kecepatan daya banding dengan pengalaman persoalan-persoalan lain yang sudah menjadi referensi dan literatur hidupnya.
Kisah cerita seorang pemuda yang sedang dirundung persoalan cinta berjalan terhuyung penuh kekalutan disebuah pinggiran danau. Deraan persoalan yang diapresiasi sebagai sebuah bencana dahsyat di matanya seolah tak ada jalan keluar dari kepedihan ini. Degupan jantungnya melebihi ledakan bom di Jalan Thamrin tempo hari. Kondisi ini hampir menuntunnya untuk menceburkan diri lari dari persoalan dengan berniat mengakhiri hidupnya. Beberapa detik sebelum hal itu terjadi tiba-tiba seorang tua menyapanya. “Ada persoalan apa gerangan Nak yang sedang kau pikirkan?”, “Aku merasa sangat malang dan terperosok dalam kepedihan yang teramat dalam, Kek, Aku putus asa” dan seterusnya dan seterusnya acara curhat bersama kakekpun berjalan lancar, tertib, terkendali walau tanpa moderator seorangpun.
“Nak, kakek punya sesendok garam dan akan kakek tuangkan pada segelas air, coba kau cicipi!”. Dengan punya dugaan mistis dan sugesti tinggi serta harapan meredakan ketegangan hidupnya si pemuda menurut saja dan yang terjadi serta merta dia menyemburkan air dari mulutnya seraya berteriak keasinan. Tanpa kata si kakek mengajak pemuda berjalan di pinggir danau, si pemuda mengikut saja sambil penuh tanya.
“Nak, kakek akan tuangkan persis sesendok garam seperti tadi ke danau ini, silahkan coba kau cicipi rasa airnya!”
Tanpa perlu menurut perintah kakek pemuda itu termenung dan mulai mengerti satu bentuk persoalan bisa menjadi sebuah bencana dan atau tak berarti apa-apa tergantung hati ini apakah hanya ibarat sebuah gelas kecil atau ibarat luasnya danau yang terbentang. Bagi hati yang seluas danau persoalan sesendok garam bukanlah apa-apa. Bagi hati seluas danau persoalan cinta mestinya bukan apa-apa. Bagi hati seluas danau apapun yang terjadi hanyalah romantika perjalanan hidup yang mesti diapresiasi, disyukuri sebagai anugrah Tuhan untuk bisa merasakan dan menemukan berbagai keindahan yang terselip dibaliknya.
“Kenapa aku harus bersedih ya kek?”, pemuda itu menggumam sambil melirik kearah sang kakek tua. Namun sang kakek raib, berkelebat dan lenyap seketika. Kemana sang kakek pergi? Entahlah sampai artikel ini dipublikasikan kabar sang kakek masih belum ada kejelasannya dan ternyata kita dalam posisi tidak penting untuk memikirkan kemana gerangan sang kakek yang sakti itu menghilang pergi -- hehe
Dari sekilas cerita tersebut dirasa menjadi sangat penting kita punya daya elastisitas dan respon positif yang tinggi terhadap berbagai persoalan kiri kanan depan belakang yang menyertai kehidupan kita sehari-hari. Pandanglah persoalan itu sebagai sebuah keniscayaan, sebagai sebuah siklus yang harus kita tempuh dan kita lalui dengan sikap sewajarnya saja. Betul itu bukan hal mudah, saat persoalan terjadi tidak jarang cuaca sekeliling ini menjadi sangat gelap, beberapa jalan pun lebih sering nampak tertutup dan itu respon manusiawi. Namun pengkondisian hati untuk lebih terbuka dan berusaha berdiri di tempat yang luas dan terang ini sangat membantu selama proses persoalan bermetamorfosis sampai menjadi sebuah eksekusi fakta dan kenyataan konkret yang ada. Kita lebih sering tertekan dan gagal dalam masa persoalan itu sedang berproses dibanding ketika persoalan itu sudah menjadi fakta kepahitan. Seberapa pahit kenyataan biasanya terlarut jua dengan waktu, dan kita sudah secara fitrah akan siap menerimannya.
Siagakanlah hati kita untuk siap merespon segenap persoalan dengan ibarat keluasan danau bukan ibarat wadah-wadah kecil di sekeliling kita. Dan tentu saja tidak lupa kita senantiasa berdo’a pada yang kuasa untuk senantiasa diberi kekuatan dan ketabahan. Setiap saat segunung dan segudang masalah selalu mengintai dan siap menerkam kita. Katakanlah – Kita Bisa ! Semoga !.
Oleh : Uju Gunawan, S.Pd. M.Pd.
Berbagai persoalan dalam hidup senantiasa melingkupi, mengepung dari berbagai arah serta menghunjam bertubi-tubi. Ketika suatu saat dengan berbagai upaya -- katakanlah nyaris berhasil terlepas dari satu persoalan, persoalan lain sudah siap mengikat menjerat dan menerkam. Persoalan tersebut muncul dari porsi yang amat sederhana sampai yang paling rumit sekalipun. Dalam rentang derajat kerumitan yang beragam itu hati punya kapasitas elastistas berbeda untuk “meloading” dan membacanya. Seseorang “A” sangat mungkin menerjemahkan persoalan sederhana menjadi sebuah persoalan besar sehingga dianggap musibah dan bencana, tapi pada posisi lain bisa terbaca persoalan “remeh temeh” saja untuk seorang ”B”. Begitu pun sebaliknya. Hati ibarat wadah seberapa cukup atau seberapa luber ketika air tertumpah ke dalamnya. Namun wadah hati tersebut sangatlah elastis, bagaimana seseorang punya daya respon dan kecepatan daya banding dengan pengalaman persoalan-persoalan lain yang sudah menjadi referensi dan literatur hidupnya.
Kisah cerita seorang pemuda yang sedang dirundung persoalan cinta berjalan terhuyung penuh kekalutan disebuah pinggiran danau. Deraan persoalan yang diapresiasi sebagai sebuah bencana dahsyat di matanya seolah tak ada jalan keluar dari kepedihan ini. Degupan jantungnya melebihi ledakan bom di Jalan Thamrin tempo hari. Kondisi ini hampir menuntunnya untuk menceburkan diri lari dari persoalan dengan berniat mengakhiri hidupnya. Beberapa detik sebelum hal itu terjadi tiba-tiba seorang tua menyapanya. “Ada persoalan apa gerangan Nak yang sedang kau pikirkan?”, “Aku merasa sangat malang dan terperosok dalam kepedihan yang teramat dalam, Kek, Aku putus asa” dan seterusnya dan seterusnya acara curhat bersama kakekpun berjalan lancar, tertib, terkendali walau tanpa moderator seorangpun.
“Nak, kakek punya sesendok garam dan akan kakek tuangkan pada segelas air, coba kau cicipi!”. Dengan punya dugaan mistis dan sugesti tinggi serta harapan meredakan ketegangan hidupnya si pemuda menurut saja dan yang terjadi serta merta dia menyemburkan air dari mulutnya seraya berteriak keasinan. Tanpa kata si kakek mengajak pemuda berjalan di pinggir danau, si pemuda mengikut saja sambil penuh tanya.
“Nak, kakek akan tuangkan persis sesendok garam seperti tadi ke danau ini, silahkan coba kau cicipi rasa airnya!”
Tanpa perlu menurut perintah kakek pemuda itu termenung dan mulai mengerti satu bentuk persoalan bisa menjadi sebuah bencana dan atau tak berarti apa-apa tergantung hati ini apakah hanya ibarat sebuah gelas kecil atau ibarat luasnya danau yang terbentang. Bagi hati yang seluas danau persoalan sesendok garam bukanlah apa-apa. Bagi hati seluas danau persoalan cinta mestinya bukan apa-apa. Bagi hati seluas danau apapun yang terjadi hanyalah romantika perjalanan hidup yang mesti diapresiasi, disyukuri sebagai anugrah Tuhan untuk bisa merasakan dan menemukan berbagai keindahan yang terselip dibaliknya.
“Kenapa aku harus bersedih ya kek?”, pemuda itu menggumam sambil melirik kearah sang kakek tua. Namun sang kakek raib, berkelebat dan lenyap seketika. Kemana sang kakek pergi? Entahlah sampai artikel ini dipublikasikan kabar sang kakek masih belum ada kejelasannya dan ternyata kita dalam posisi tidak penting untuk memikirkan kemana gerangan sang kakek yang sakti itu menghilang pergi -- hehe
Dari sekilas cerita tersebut dirasa menjadi sangat penting kita punya daya elastisitas dan respon positif yang tinggi terhadap berbagai persoalan kiri kanan depan belakang yang menyertai kehidupan kita sehari-hari. Pandanglah persoalan itu sebagai sebuah keniscayaan, sebagai sebuah siklus yang harus kita tempuh dan kita lalui dengan sikap sewajarnya saja. Betul itu bukan hal mudah, saat persoalan terjadi tidak jarang cuaca sekeliling ini menjadi sangat gelap, beberapa jalan pun lebih sering nampak tertutup dan itu respon manusiawi. Namun pengkondisian hati untuk lebih terbuka dan berusaha berdiri di tempat yang luas dan terang ini sangat membantu selama proses persoalan bermetamorfosis sampai menjadi sebuah eksekusi fakta dan kenyataan konkret yang ada. Kita lebih sering tertekan dan gagal dalam masa persoalan itu sedang berproses dibanding ketika persoalan itu sudah menjadi fakta kepahitan. Seberapa pahit kenyataan biasanya terlarut jua dengan waktu, dan kita sudah secara fitrah akan siap menerimannya.
Siagakanlah hati kita untuk siap merespon segenap persoalan dengan ibarat keluasan danau bukan ibarat wadah-wadah kecil di sekeliling kita. Dan tentu saja tidak lupa kita senantiasa berdo’a pada yang kuasa untuk senantiasa diberi kekuatan dan ketabahan. Setiap saat segunung dan segudang masalah selalu mengintai dan siap menerkam kita. Katakanlah – Kita Bisa ! Semoga !.
Kita diperintahkan shalat dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” [HR. Bukhari]
Cek NISN - NPSN- NUPTK --kilik pada gambar di bawah ...
Beraktifitaslah dengan Bissmilah INTI (awali Bissmilah -- Ikuti -- Nyaman --Tuntas -- Ikhlas ---
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” [HR. Bukhari]
Untuk membaca tentang Panduan Kerja Kepala Sekolah silahkan --KLIK DI SINI--
Beraktifitaslah dengan Bissmilah INTI (awali Bissmilah -- Ikuti -- Nyaman --Tuntas -- Ikhlas ---
Baca Juga artikel
No comments:
Post a Comment