Cerpen
PENGGANTI, DI SAAT SEMUA PERGI
Euis Cucu Sukmanah
Hampir satu jam lamanya aku masih bersimpuh di pusara ibu.
Air mata berlinang mengiringi bacaan doa. Sudah setahun ibu meninggal, merasa
kehilangan dan rasa kangen selalu menyelimuti. Hidup dalam kesendirian akhirnya
ibu meninggal karena sakit. Jeda tiga tahun menyusul kepergian ayah.
Dengan bersandar ke tembok di samping pusara ibu,
kumerenung, mengenang kehidupan masa lalu yang penuh warna. Indah, suka, duka
bersama keluarga tak dapat kulupakan.
Namaku Rani, mempunyai seorang kakak bernama Randi. Ayahku
seorang bangsawan dari Jawa. Ibuku juga seorang ningrat Sunda. Bersama dua
orang temannya. Ayah berhasil dalam bisnisnya mendirikan sebuah Bank Swasta
yang berpusat di Bandung, dan cabangnya menyebar di seluruh Nusantara.
Sebagai pemegang saham terbesar. Ayah dipercaya menjadi
direktur utamanya, dan teman yang satu sebagai wakilnya. Ibu seorang sosialita
yang sibuk juga dengan organisasi kewanitaannya.
Kehidupan keluarga
kami sangat berkecukupan. Kak Randi selesai S.2 langsung di
tugas di Cabang Bogor, baru empat tahun sudah kepala. Dari dulu dia senang
kemewahan. Ibu selalu memanjakannya, memberi segala fasilitas dengan alasan
anak laki-laki pempunyai tanggungjawab. Menikah dengan perempuan anak orang
kaya, dirayakan sangat meriah. Sedangkan aku tidak suka kemewahan, dan hidupku
sederhana.
Selesai kuliah, ibu seakan membenciku karena tidak mau
menerima tawarannya bekerja di Bank. Alasanku, bagi wanita kurang cocok kerja
di Bank, karena banyak menyita waktu untuk keluarga. Terlebih aku punya pacar
Kak Dodi seorang PNS guru SD anak seorang pensiunan Kepala Sekolah. Ibuku
sangat tidak menyukainya.
"Bu, kenapa tidak merestui hubungan kami? Padahal aku
sangat mencintainya," tanyaku pada suatu hari pada ibu.
"Kamu anak orang kaya, berapa gaji kekasihmu? Nanti
kamu kurang makan," jawab Ibu meremehkan.
"Tapi aku yang akan menjalaninya, aku akan hidup hemat
dan sederhana, sambil usaha dari rumah," jawabku meyakinkan.
"Kalau mau, ada anak teman Ibu seorang pengusaha,
dijamin hidupmu nyaman." Ibu malah menawarkan anak temannya. Ibu sangat
egois, segala sesuatu harus dituruti.
"Aku tidak mau, walau bagaimanapun akan menikah dengan
Kak Dodi," jawabku ketus.
"Terserahlah! Kamu memang susah diurus." Ibu
berjingkat pergi.
Lama kelamaan, akhirnya Ibu, Ayah, dan Kak Randi merestui
hubungan kami, dan menikah secara sederhana. Kemudian aku pindah mengikuti
suami ke Cianjur. Mendiami rumah kecil mungil yang dibeli suami sebelum
menikah. Kutanami bunga-bunga dan sayuran. Sangat indah dan asri. Dua bulan
sekali kami menengok orang tua ke Bandung.
Tiga tahun kemudian ayah meninggal secara mendadak. Kami
sekeluarga sangat terpukul, apalagi ibu. Direktur utama digantikan teman ayah,
dan wakilnya digantikan teman yang satunya lagi. Ibu seakan prustasi,
rapat-rapat kantor tidak dilibatkan, dan sudah tidak tahu lagi pengelolaannya.
Enam bulan setelah kepergian Ayah, Kak Randi sebagai anak
sulung untuk mengurus keluarga,
tiba-tiba meninggal dengan cara yang sama. Mendadak. Ibu tambah kelimpungan
seperti kehilangan pegangan. Mulailah sering sakit. Aku selalu menasehatinya
untuk tegar, dan tabah. Sebulan sekali menengok ke Bandung. Kadang beberapa
hari menemaninya seijin suami.
Namanya dunia bisnis patungan, tidak mulus selamanya. Rupanya
teman ayah serakah ingin menguasai semua aset Bank dan yang dimiliki ayahku.
Dengan dalih waktu dulu ayah korupsi, semua aset surat berharga, tanah darat
sawah hektaran, dua rumah, dua mobil dan tabungan atas nama ayah, semua
dirampasnya, disita. Prustasi Ibu memuncak, jatuh sakit tak berdaya.
"Sudahlah, Bu. Jangan selalu dipikirkan. Mungkin ini
sudah takdir kita. Hadapi saja kenyataan ini dengan ikhlas, kan masih ada aku
yang selalu mencintai dan merawat ibu." Kataku sambil membelai rambutnya,
kukecup keningnya, ketika berbaring di rumah sakit.
"Ibu menyesal selalu hidup mewah, tanpa menabung atas
nama Ibu. Tabungan atas nama ayah belum sempat diganti, jadi ikut disita,"
keluh ibu sambil berlinang air mata.
"Yang sabar, Bu. Mungkin itu bukan hak milik kita.
Smoga Alloh menggantinya secara cepat dan halal." Tak dipungkiri hatiku
juga sangat sedih.
"Maafkan Ibu, dulu selalu mengabaikanmu. Ternyata
prinsip hidupmu benar. Kesederhanaan akan membuahkan hasil yang besar. Usahamu
sukses." Sekarang ibu memujiku.
"Alhamdulillah, Bu. Ini semua berkat doa Ibu dan kita
semua," jawabku merendah.
"Sikap Ibu dulu banyak salah, Ran. Selalu
menyepelekanmu, sekarang malah kamu yang mengurus Ibu." Sambil meraih
kedua tanganku.
"Tidak ada yang perlu disalahkan. Ini sudah menjadi
kewajiban dan tanggungjawabku. Ibu adalah harta yang berharga bagiku." Aku
merangkulnya, dan pecahlah tangisan kami berdua.
Kak Dodi menghampiri.
"Sudahlah, kita ambil hikmahnya saja. Ibu jangan banyak
pikiran, yang penting sekarang Ibu harus sembuh."
"Ya, nak Dodi. Ibu titipkan Rani kepadamu. Jagalah dia
dengan baik, karena sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Betul lelaki
pilihanmu, Ran. Dia menjadi imam yang baik untukmu. Ternyata kebahagiaan tidak
bisa diukur dengan kemewahan."
"Ya, Bu. Siap! Aku sangat mencintai, menyayangi, dan
mengasihinya. Apalagi sekarang sedang mengandung empat bulan, sebentar lagi Ibu
punya cucu."
"Ibu senang sekali, semoga cucuku lahir dengan
selamat."
"Supaya Ibu cepat sehat, makan dulu, ya!" Aku
merayunya, kemudian disuapi sedikit demi sedikit. Setelah minum obat akhirnya
tertidur.
Pagi-pagi setelah diperiksa dokter, tiba-tiba nafas Ibu
kelihatan berat. Kaki dan tangannya sudah dingin. Firasatku sudah jelek. Maka
bersama suami membimbingnya mengucapkan Qalam Alloh, Ibu mengikutinya sampai
menghembuskan nafas terakhir. Menutup mata dengan tenang, tersungging senyum
ikhlas. Innalillahi Wainnaillaihi rojiun.
"Rani sayang, ayo kita pulang! Jangan melamun terus,
kita selalu berdoa saja setiap waktu, smoga Ibu, Ayah, Kak Randi, hidup tenang
dan menjadi ahli surga." Sambil mengulurkan kedua tangannya, Kak Dodi
mengajak pulang.
"Ya, Kak. Terima kasih telah merawat Ibuku."
Sambil kucium kedua tangannya.
"Karena aku sangat mencintaimu, sayang."
Dikecupnya keningku.
Kemudian kami naik mobil, pulang diiringi lagu Mama Kaulah
Bintang dari Romaria, sampai tertidur.
Ciamis, 29 September 2021
No comments:
Post a Comment