torototheong

Media Berbagi Semoga ada Manfaatnya ...

Breaking

Thursday, 10 February 2022

PENGGANTI, DI SAAT SEMUA PERGI

Cerpen

PENGGANTI, DI SAAT SEMUA PERGI

Euis Cucu Sukmanah



Hampir satu jam lamanya aku masih bersimpuh di pusara ibu. Air mata berlinang mengiringi bacaan doa. Sudah setahun ibu meninggal, merasa kehilangan dan rasa kangen selalu menyelimuti. Hidup dalam kesendirian akhirnya ibu meninggal karena sakit. Jeda tiga tahun menyusul kepergian ayah.

Dengan bersandar ke tembok di samping pusara ibu, kumerenung, mengenang kehidupan masa lalu yang penuh warna. Indah, suka, duka bersama keluarga tak dapat kulupakan.

Namaku Rani, mempunyai seorang kakak bernama Randi. Ayahku seorang bangsawan dari Jawa. Ibuku juga seorang ningrat Sunda. Bersama dua orang temannya. Ayah berhasil dalam bisnisnya mendirikan sebuah Bank Swasta yang berpusat di Bandung, dan cabangnya menyebar di seluruh Nusantara.

Sebagai pemegang saham terbesar. Ayah dipercaya menjadi direktur utamanya, dan teman yang satu sebagai wakilnya. Ibu seorang sosialita yang sibuk juga dengan organisasi kewanitaannya.

Kehidupan keluarga

kami sangat berkecukupan. Kak Randi selesai S.2 langsung di tugas di Cabang Bogor, baru empat tahun sudah kepala. Dari dulu dia senang kemewahan. Ibu selalu memanjakannya, memberi segala fasilitas dengan alasan anak laki-laki pempunyai tanggungjawab. Menikah dengan perempuan anak orang kaya, dirayakan sangat meriah. Sedangkan aku tidak suka kemewahan, dan hidupku sederhana.

Selesai kuliah, ibu seakan membenciku karena tidak mau menerima tawarannya bekerja di Bank. Alasanku, bagi wanita kurang cocok kerja di Bank, karena banyak menyita waktu untuk keluarga. Terlebih aku punya pacar Kak Dodi seorang PNS guru SD anak seorang pensiunan Kepala Sekolah. Ibuku sangat tidak menyukainya.

"Bu, kenapa tidak merestui hubungan kami? Padahal aku sangat mencintainya," tanyaku pada suatu hari pada ibu.

"Kamu anak orang kaya, berapa gaji kekasihmu? Nanti kamu kurang makan," jawab Ibu meremehkan.

"Tapi aku yang akan menjalaninya, aku akan hidup hemat dan sederhana, sambil usaha dari rumah," jawabku meyakinkan.

"Kalau mau, ada anak teman Ibu seorang pengusaha, dijamin hidupmu nyaman." Ibu malah menawarkan anak temannya. Ibu sangat egois, segala sesuatu harus dituruti.

"Aku tidak mau, walau bagaimanapun akan menikah dengan Kak Dodi," jawabku ketus.

"Terserahlah! Kamu memang susah diurus." Ibu berjingkat pergi.

Lama kelamaan, akhirnya Ibu, Ayah, dan Kak Randi merestui hubungan kami, dan menikah secara sederhana. Kemudian aku pindah mengikuti suami ke Cianjur. Mendiami rumah kecil mungil yang dibeli suami sebelum menikah. Kutanami bunga-bunga dan sayuran. Sangat indah dan asri. Dua bulan sekali kami menengok orang tua ke Bandung.

Tiga tahun kemudian ayah meninggal secara mendadak. Kami sekeluarga sangat terpukul, apalagi ibu. Direktur utama digantikan teman ayah, dan wakilnya digantikan teman yang satunya lagi. Ibu seakan prustasi, rapat-rapat kantor tidak dilibatkan, dan sudah tidak tahu lagi pengelolaannya.

Enam bulan setelah kepergian Ayah, Kak Randi sebagai anak sulung untuk  mengurus keluarga, tiba-tiba meninggal dengan cara yang sama. Mendadak. Ibu tambah kelimpungan seperti kehilangan pegangan. Mulailah sering sakit. Aku selalu menasehatinya untuk tegar, dan tabah. Sebulan sekali menengok ke Bandung. Kadang beberapa hari menemaninya seijin suami.

Namanya dunia bisnis patungan, tidak mulus selamanya. Rupanya teman ayah serakah ingin menguasai semua aset Bank dan yang dimiliki ayahku. Dengan dalih waktu dulu ayah korupsi, semua aset surat berharga, tanah darat sawah hektaran, dua rumah, dua mobil dan tabungan atas nama ayah, semua dirampasnya, disita. Prustasi Ibu memuncak, jatuh sakit tak berdaya.

"Sudahlah, Bu. Jangan selalu dipikirkan. Mungkin ini sudah takdir kita. Hadapi saja kenyataan ini dengan ikhlas, kan masih ada aku yang selalu mencintai dan merawat ibu." Kataku sambil membelai rambutnya, kukecup keningnya, ketika berbaring di rumah sakit.

"Ibu menyesal selalu hidup mewah, tanpa menabung atas nama Ibu. Tabungan atas nama ayah belum sempat diganti, jadi ikut disita," keluh ibu sambil berlinang air mata.

"Yang sabar, Bu. Mungkin itu bukan hak milik kita. Smoga Alloh menggantinya secara cepat dan halal." Tak dipungkiri hatiku juga sangat sedih.

"Maafkan Ibu, dulu selalu mengabaikanmu. Ternyata prinsip hidupmu benar. Kesederhanaan akan membuahkan hasil yang besar. Usahamu sukses." Sekarang ibu memujiku.

"Alhamdulillah, Bu. Ini semua berkat doa Ibu dan kita semua," jawabku merendah.

"Sikap Ibu dulu banyak salah, Ran. Selalu menyepelekanmu, sekarang malah kamu yang mengurus Ibu." Sambil meraih kedua tanganku.

"Tidak ada yang perlu disalahkan. Ini sudah menjadi kewajiban dan tanggungjawabku. Ibu adalah harta yang berharga bagiku." Aku merangkulnya, dan pecahlah tangisan kami berdua.

Kak Dodi menghampiri.

"Sudahlah, kita ambil hikmahnya saja. Ibu jangan banyak pikiran, yang penting sekarang Ibu harus sembuh."

"Ya, nak Dodi. Ibu titipkan Rani kepadamu. Jagalah dia dengan baik, karena sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Betul lelaki pilihanmu, Ran. Dia menjadi imam yang baik untukmu. Ternyata kebahagiaan tidak bisa diukur dengan kemewahan."

"Ya, Bu. Siap! Aku sangat mencintai, menyayangi, dan mengasihinya. Apalagi sekarang sedang mengandung empat bulan, sebentar lagi Ibu punya cucu."

"Ibu senang sekali, semoga cucuku lahir dengan selamat."

"Supaya Ibu cepat sehat, makan dulu, ya!" Aku merayunya, kemudian disuapi sedikit demi sedikit. Setelah minum obat akhirnya tertidur.

Pagi-pagi setelah diperiksa dokter, tiba-tiba nafas Ibu kelihatan berat. Kaki dan tangannya sudah dingin. Firasatku sudah jelek. Maka bersama suami membimbingnya mengucapkan Qalam Alloh, Ibu mengikutinya sampai menghembuskan nafas terakhir. Menutup mata dengan tenang, tersungging senyum ikhlas. Innalillahi Wainnaillaihi rojiun.

"Rani sayang, ayo kita pulang! Jangan melamun terus, kita selalu berdoa saja setiap waktu, smoga Ibu, Ayah, Kak Randi, hidup tenang dan menjadi ahli surga." Sambil mengulurkan kedua tangannya, Kak Dodi mengajak pulang.

"Ya, Kak. Terima kasih telah merawat Ibuku." Sambil kucium kedua tangannya.

"Karena aku sangat mencintaimu, sayang."

Dikecupnya keningku.

Kemudian kami naik mobil, pulang diiringi lagu Mama Kaulah Bintang dari Romaria, sampai tertidur.


Ciamis, 29 September 2021 








No comments:

Tetap Jaga Protokol Kesehatan