SALAH SATU PENYEBAB KUALITAS KINERJA TIDAK OPTIMAL (?)
Oleh: Uju Gunawan, S.Pd. M.Pd.
Dalam dunia pendidikan, khususnya sekolah, guru merupakan elemen paling penting. Semua hal yang berkaitan dengan pendidikan, mulai dari kurikulum pendidikan, biaya pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, serta hal lain yang berkaitan dengan dunia pendidikan seberapapun hebatnya akan menjadi tidak berarti jika interaksi guru dan peserta didik tidak berjalan secara berkualitas.
Tugas dan peran guru dalam mentranformasikan segala input pendidikan sangatlah vital. Bahkan, saking vitalnya tugas dan peran guru ini membuat banyak kalangan, terutama pakar pendidikan yang menilai bahwa perubahan kualitas pendidikan hanya akan tercapai jika kualitas gurunya ditingkatkan. Namun sayang, saat ini masih sangat sulit untuk mengetahui realita tentang seberapa berkualitasnya seorang guru.
Jangankan mengetahui kualitas seorang guru secara pasti, untuk mendapatkan data real terkait performa guru di hadapan peserta didik pun tidaklah mudah. Bahkan, seorang kepala sekolah dan pengawas yang notebene kerap melakukan penilaian sangatlah sulit mendapatkan hasil yang akurat.
Biasanya, ketika seorang kepala sekolah atau pengawas hendak melakukan penilaian terhadap seorang guru, guru tersebut akan berupaya menampilkan performa terbaiknya di hadapan peserta didik. Semua persiapan terkait perencanaan, instrumen dan pelaksanaan pembelajaran akan dipersiapkan dengan maksimal. Selesai pengawasan, mungkin guru tersebut akan kembali memperlihatkan performa yang biasa-biasa saja. Bahkan, tak jarang guru melaksanakan proses pembelajaran dengan tanpa antusiasme yang maksimal.
Di sisi lain sejauh ini terbentuk sebuah situasi yang iklimnya sama sekali tidak memberikan dorongan positif terhadap penilaian kinerja. Apapun yang terjadi hasil akumulasi penilaian kinerja di seberang sana biasanya muncul sepertinya tanpa ada korelasi dengan praktek penilaian yang dilakukan. Nilai kinerja mereka rasa kurang objektif, terkadang lebih mengacu pada DUK (daftar urut kepangkatan) – masing-masing mendapat nilai secara merangkak perlahan. Mereka yang sudah di atas merangkak yang dibawahpun sama mengikuti irama tersebut seberapapun prestasi yang dia tunjukan. Sepertinya hal yang tak mungkin mendapat nilai lebih besar dari seniornya seberapapun katakanlah buruk kinerja senior tersebut.
Keadaan seperti inilah diduga berefek pada “sebagian personil” mengakibatkan tidak termotivasi untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. Dan itu bisa dipahami karena memang reward seberapapun kecilnya punya dampak positif terhadap motivasi baik motivasi kinerja ataupun motif berprestasi.
Mudah-mudahan seiring perubahan dalam banyak hal, kebiasaan lama penilaian yang kurang objektif apalagi semacam dipatok angka minimalnyaseolah tanpa memperhatikan sama sekali variasi objek yang dinilainya ini bisa berupah pula. Diharapkan ke depan penilaian kinerja dilakukan secara continue dan bersipat objektif sehingga bisa menumbuhkan motivasi serta timbul upaya untuk meningkatkan kualitas kinerja secara optimal.
No comments:
Post a Comment